Pages

Selasa, 20 April 2010

•• Ngobrolin Ibu Kita Kartini, yukk .…••

Tanggal berapa sih sekarang ?

Tanggal 21 April 2010. -_-'

Ehmm.. ada apa yaa tanggal ini, kok banyak yang berkebayaan dimana-mana?

Tanggal 21 April ya tanggal diperingatinya Ibu kita Kartini, tauuuu!!. -_-‘’

Ibu kita Kartini?!. Siapa dia? Untuk apa sih diperingati?

Waduh parah nih, Kartini itu adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia. Kartini juga dikenal sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi. Untuk mengenang jasa-jasanya yang besar itu, makanya setiap tanggal 21 April diperingatilah hari Kartini.

Trus gimana ceritanya kok bisa diperingatinya setiap tanggal 21 April kenapa gag tanggal 22 Agustus aja he..he..?

Gini loh, tanggal 21 April sebenarnya tanggal kelahiran Kartini.

Presiden Soekarno yang saat itu mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, kemudian menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.

Tapi pada masa itu, sempat juga ada kontroversi mengenai penetapan tanggal diperingatinya Kartini ini.

Masa?? Gimana ceritanya?

Awalnya, penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar sempat agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan agar tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember. Alasan mereka adalah agar tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah. Dan berbagai alasan lainnya.

Sedangkan mereka yang pro malah mengatakan Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya. Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.

Ooo, begitu, selalu saja ya ada pro kontra.

Ya, lumralah setiap hal apalagi yang ini peristiwa besar loh, selalu dibarengi dengan perdebatan antara pihak pro dan pihak yang kontra. Yaa, untung saja saat itu terselesaikan dengan baik-baik dan damai. Itu yang penting.

Kembali lagi deh ke Kartini. Trus siapa sih sebenarnya Kartini dan gimana sih background keluarganya?

Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, gelar setelah beliau menikah, Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879. Kartini sendiri merupakan seseorang dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.

Ayahnya adalah Raden Mas Sosroningrat, yang saat itu menjabat bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Eh, tau gag, sebenarnya ibunya Kartini itu adalah istri tua (pertama) dari RM Sosroningrat, yang menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), yang keturunan langsung Raja Madura.

Maksudnya RM Sosroningrat poligami????

Iya benar. Pada waktu itu poligami adalah suatu perkara yang biasa.

Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah (ibunya Kartini) bukanlah bangsawan tinggi, maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.

Owalah, begitu ceritanya. Eh eh Kartini itu anak tunggal?

Bukan anak tunggal. Kartini malah adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Sedangkan rari kesemua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.

Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.

Wew! Dipingit?? Macam apa pula itu?

Setelah berusia 12 tahun, menurut adat Jawa seorang gadis harus dipingit, iaitu tinggal di rumah untuk belajar hal-hal yang diperlukan untuk memasuki dunia perkahwinan kelak. Dan hal itulah yang terjadi pada Kartini.

Trus, sejak itu berarti Kartini sudah berhenti belajar dong.

Yaa, tidak seperti itu juga sih. Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie.

Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.

Di umur yang belum genap 20 tahun, Kartini sudah melahap banyak buku yang kesemuanya berbahasa Belanda.

Hebat juga ya pemikirannya. Walau terkungkung dengan adat jawa yang super duper ketat waktu itu, tetapi pikirannya tetap bisa jauh berkembang. Sungguh memberi inspirasi. Trus buku-buku seperti apa yang dibaca Kartini sampai-sampai dia mempunyai pola berpikir yang luar biasa itu ?

Ada buku berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta’ karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu ‘De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib)’ karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, ‘Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata)’.

Selain itu dari buku-buku itu, poligami yang terjadi di keluarganya sendiri, Kartini melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana hal ini menimbulkan perpecahan dan kesengsaraan di antara anggota keluarga, beliau amat tidak bersetuju dengan hal ini. Dan tentu juga pendidikan Barat yang pernah dipelajarinya juga mempengaruhi pola berpikir Kartini.

Tapi, walau Kartini sangat menentang dengan yang namanya poligami, pada akhirnya dia harus menerima dengan ikhlas dipoligami.

Maksudnya Kartini dipoligami?

Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903.

Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.

Suaminya, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Pada tanggal 13 September 1904, anak pertama dan sekaligus terakhirnya, RM Soesalit, lahir. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. :'(

Di usia yang sebelia itu dengan pola pemikiran yang luar biasa, tentu bangsa Indonesia telah kehilangan salah satu putra bangsa terbaiknya. Jadi sedih.. Trus trus apa yang terjadi setelah beliau wafat.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul ‘Door Duisternis tot Licht’ yang artinya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Oia.. ‘Door Duisternis tot Licht’ atau"Dari Kegelapan Menuju Cahaya". buku itu sangat terkenal sekali, bukan?!.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru, dengan pembagian buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Dalam bahasa Inggris, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.

Sebenarnya pemikiran-pemikiran seperti apa sih yang tertuang di surat-surat Kartini itu?

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).

Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.

Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya sebatas tembok rumah.

Wow! Pemikiran yang sangat kritis dan berani ya, di situasi yang pada masa itu serba terbatas, dalam artian hak seorang wanita yang dibatasi oleh ketatnya adat Jawa.

Setuju!! Selain itu ya surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski Kartini memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup.

Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.

Trus akhirnya Kartini jadi meneruskan studi di Betawi atau Belanda ??

Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.

Jadi, akhirnya Kartini jadi masuk sekolah kedokteran di Betawi?

Bukan sekolah kedokteran, tetapi sekolah guru. Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.

Berarti beliau tidak jadi meneruskan studinya. Hmm.. sayang sekali yaa. Oiaa.. ceritakan mengenai bukunya yang sangat terkenal itu, Habis Gelap Terbitlah Terang !

Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.

Pada 1938, buku Habis Gelap Terbitlah Terang diterbitkan kembali dalam format yang berbeda dengan buku-buku terjemahan dari Door Duisternis Tot Licht. Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi.

Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman. Menurut Armijn Pane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut ia bagi ke dalam lima bab pembahasan.

Yang ini juga gag kalah diselipi beberapa kontroversi juga loh.

Kontroversi lagi?! Kok bisa??

Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis. Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhum Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.

Owalah … gag jaman dulu, gag jaman sekarang, ada aja momen seperti ini.

Ya begitulah. Kalo semuanya sepaham gag seru kan. Malah yang berbeda itu yang bikin hidup gag flat. Ya seperti yang dibilang tadi, apapun masalahya yang penting tetep diselesaikan dengan kepala dingin walau hati saat itu panas-panas anget. :D

Sipp!!. Jadi sekarang gag hanya tau tanggal 21 April itu hari memperingati Ibu kita Kartini aja, tapi sekarang paham mengapa dan bagaimana tanggal itu diperingati. Dan tentu juga lebih mengenal siapakah dan bagaimanakah Ibu Kartini. Itu kan yang penting. :)


•• Athika Can ••


Sumber :

http://www.forumkami.com/forum/cafe/ 7794-sejarah-hidup-raden-adjeng-kartini.html

http://ms.wikipedia.org/wiki/Kartini

2 komentar:

Anonim mengatakan...

katanya banyak gambarnya?hehehe piss....tapi bagus kok

agensusukambing.id mengatakan...

check this out...

Posting Komentar

 
Copyright 2009 Tammie Goreng. Powered by Blogger
Blogger Templates created by Deluxe Templates
Wordpress by Wpthemescreator
Blogger Showcase